SEJARAH ANIMASI
Definisi
animasi diambil dari kamus Oxford berarti film yang seolah hidup,
terbuat dari fotografi, gambaran, boneka, dan sebagainya dengan
perbedaan tipis antarframes, untuk memberi kesan pergerakan saat
diproyeksikan (The Little Oxford Dictionary 19). Animate yang merupakan
kata kerja dari bahasa Inggris berarti memberi nyawa.Animasi bukan
teknologi yang baru lagi dan telah digunakan dalam berbagai film-film
menarik. Namun demikian perkembangannya di Indonesia berjalan lambat
sekali. Dari sekian banyak film animasi tiga dimensi yang beredar hampir
semuanya adalah buatan luar negeri, bahkan sebagian besar masyarakat
tidak mengetahui adanya karya lokal. Padahal hingga saat ini sudah ada
dua film animasi tiga dimensi berdurasi panjang buatan anak negeri yakni
“Homeland” dan “Janus Prajurit Terakhir”Sebenarnya
Indonesia juga memiliki animator-animator handal, ironisnya karya
mereka justru diekspor ke negara lain seperti yang dilakukan oleh Castle
Animation di Jakarta. Permasalahannya adalah karena investor di
Indonesia sendiri belum melihat animasi sebagai sektor yang
menguntungkan (Wicaksono 25).Memperhatikan
film-film animasi layar lebar yang beredar, hampir semuanya menggunakan
satu teknik saja yaitu umumnya adalah animasi 3-D seperti yang biasa
dilakukan Pixar studio, stop motion yang biasa dilakukan oleh Aardman,
atau 2-D yang biasa dilakukan oleh Disney. Melihat kenyataan tersebut
penulis disini ingin mencoba mengeksplorasi sebuah teknik animasi
gabungan yang jarang dipakai. Menggabungkan dua teknik animasi yang
berbeda sebenarnya tidak dimungkinkan pada tahap produksi atau tahap
penganimasian namun dimungkinkan sebagai compositing di tahap
pasca-produksi.Cerita
dongeng berjudul “Gadis Gembala dan Penyapu Cerobong” karangan Hans
Christian Andersen merupakan obyek yang menarik untuk dijadikan karya
Tugas Akhir berbentuk film animasi pendek dengan teknik gabungan. Cerita
ini adalah karya Andersen yang kurang populer sehingga belum pernah
dibuat animasinya sama sekali. Alasan pemilihan cerita ini terletak pada
jalan ceritanya yang memiliki kemampuan untuk menampilkan berbagai
suasana emosi. Sehingga memungkinkan untuk ditampilkannya atau di
visualkannya berbagai mood (suasana) dalam satu film yang bahkan hanya
memiliki satu setting. Konkretnya adalah sebagai berikut • Suasana netral dimulai pada permulaan cerita dengan pengenalan tokoh.•
Suasana tegang dimulai dari konflik yang mulai memuncak ketika sang
gadis gembala dipaksa untuk menikah dengan tokoh antagonis cerita serta
adegan ketika kedua tokoh utama melarikan diri.• Suasana yang gelap dan suram saat kedua tokoh utama masuk dalam laci meja untuk bersembunyi.• Suasna romantis dalam klimaks saat mereka mencapai puncak cerobong dilanjutkan dengan antiklimaks yaitu adegan di atap rumah • Suasana yang ceria dalam sebuah happy endingDengan
keunggulan di atas, cerita ini merupakan sebuah cerita yang berpotensi
menarik dan menantang untuk ditampilkan dalam format audio visual.
Diperlukan sebuah perancangan yang matang untuk menghasilkan sebuah film
yang memiliki aspek kontinuitas ketika di dalamnya memiliki adegan
dengan mood yang berbeda-beda.
Sejarah Animasi
Animasi
merupakan sutu teknik yang banyak sekali dipakai di dalam dunia film
dewasa ini, baik sebagai suatu kesatuan yang utuh, bagian dari suatu
film, maupun bersatu dengan film live. Dunia film sebetulnya berakar
dari fotografi, sedangkan animasi berakar dari dari dunia gambar, yaitu
ilustrasi desain grafis (desain komunikasi visual). Melalui sejarahnya
masing-masing, baik fotografi maupun ilustrasi mendapat dimensi clan
wujud baru di dalam film live clan animasi.
Dapat dikatakan bahwa
animasi merupakan suatu media yang lahir dari dua konvensi atau
disiplin, yaitu film clan gambar. Untuk dapat mengerti clan memakai
teknik animasi, kedua konvensi tersebut harus dipahami dan dimengerti.
Film,
biasa dipakai untuk merekam suatu keadaan, atau mengemukakan sesuatu.
Film dipakai untuk memenuhi suatu kebutuhan umum, yaitu
mengkomunikasikan suatu gagasan, pesan atau kenyataan. Karena keunikan
dimensinya, clan karena sifat hiburannya, film telah diterima sebagai
salah satu media audio visual yang paling popular dan digemari. Karena
itu juga dianggap sebagai media yang paling efektif.
Untuk dapat
mempergunakan media film ada dua masalah pokok yang harus dihadapi,
yaitu masalah teknis film clan masalah teknik mengemukakan sesuatu denga
film atau biasa disebut teknik presentasi. Demikian juga dengan hal
yang harus diketahui di dalam film animasi, yaitu masalah teknik
animasi, dan masalah teknik mengkomunikasikan sesuatu dengan teknik
animasi. Sering perkataan teknik berkomunikasi lebih akrab dikatakan
seni berkomunikasi.
Di dalam kenyataannya memang hal ini sangat erat
hubungannya dengan berbagai bidang kegiatan seni, baik visual maupun
verbal atau teateral. Bagi seorang perencana komunikasi, kegiatan ini
sangat penting dimengerti. Seorang pembuat film akan mengahadapi masalah
teknik membuat film dan seni membuat film.
Semua hal yang tertulis
di dalam pembahasan ini, bukanlah suatu batasan, melainkan suatu cara
melihat dan ringkasan permasalahan yang harus dikembangkan.
Asal Mula
Teknik Film AnimasiKeinginan manusia untuk membuat gambar atau santiran
(image) yang hidup dan bergerak sebagai pantara dari pengungkapan
(expression) mereka, merupakan perwujudan dari bentuk dasar animasi yang
hidup berkembang. Kata animasi itu sendiri sebenarnya penyesuaian dari
kata animation, yang berasal dari kata dasar to animate, dalam kamus
umum Inggris-Indonesia berarti menghidupkan (Wojowasito 1997). Secara
umum animasi merupakan suatu kegiatan menghidupkan, menggerakkan benda
mati; Suatu benda mati diberikan dorongan kekuatan, semangat dan emosi
untuk menjadi hidup dan bergerak, atau hanya berkesan hidup.
Sebenarnya,
sejak jaman dulu, manusia telah mencoba meng¬animasi gerak gambar
binatang mereka, seperti yang ditemukan oleh para ahli purbakala di gua
Lascaux Spanyol Utara, sudah berumur dua ratus ribu tahun lebih; Mereka
mencoba untuk menangkap gerak cepat lari binatang, seperti celeng,bison
atau kuda, digambarkannya dengan delapan kaki dalam posisi yang berbeda
dan bertumpuk (Hallas and Manvell 1973:23).
Orang Mesir kuno
menghidupkan gambar mereka dengan urutan gambar-gambar para pegulat yang
sedang bergumul, sebagai dekorasi dinding. Dibuat sekitar tahun 2000
sebelum Masehi (Thomas 1958:8)
Lukisan Jepang kuno memperlihatkan
suatu alur cerita yang hidup, dengan menggelarkan gulungan lukisan,
dibuat pada masa Heian(794-1192) (ensiklopedi Americana volume 19,
1976). Kemudian muncul mainan yang disebut Thaumatrope sekitar abad ke
19 di Eropa, berupa lembaran cakram karton tebal, bergambar burung dalam
sangkar, yang kedua sisi kiri kanannya diikat seutas tali, bila dipilin
dengan tangan akan memberikan santir gambar burung itu bergerak
(Laybourne 1978:18).
Hingga di tahun 1880-an, Jean Marey menggunakan
alat potret beruntun merekam secara terus menerus gerak terbang burung,
berbagai kegiatan manusia dan binatang lainnya. Sebuah alat yang menjadi
cikal bakal kamera film hidup yang berkembang sampai saat ini. Dan di
tahun 1892, Emile Reynauld mengembangkan mainan gambar animasi ayng
disebut Praxinoscope, berupa rangkaian ratusan gambar animasi yang
diputar dan diproyeksikan pada sebuah cermin menjadi suatu gerak film,
sebuah alat cikal bakal proyektor pada bioskop (Laybourne 1978:23).
Kedua
pemula pembuat film bioskop, berasal dari Perancis ini,dianggapsebagai
pembuka awal dari perkembangan teknik film animasi(Ensiklopedi
AmericanavoLV1,1976:740)
Sepuluh tahun kemudian setelah film hidup
maju dengan pesat-nya di akhir abad ke 19. Di tahun 1908, Emile Cohl
pemula dari Perancis membuat film animasi sederhana berupa figure batang
korek api. Rangkaian gambar-gambar blabar hitam(black-line) dibuat di
atas lembaran putih, dipotret dengan film negative sehingga yang
terlihat figur menjadi putih dan latar belakang menjadi hitam.
Sedangkan
di Amerika Serikat Winsor McCay (lihat gambar disamping) membuat film
animasi “Gertie the Dinosaur” pada tahun 1909. Figur digambar blabar
hitam dengan latar belakang putih. Menyusul di tahun-tahun berikutnya
para animator Amerika mulai mengembangkan teknik film animasi di sekitar
tahun 1913 sampai pada awal tahun 1920-an; Max Fleischer mengembangkan
“Ko Ko The Clown” dan Pat Sullivan membuat “Felix The Cat”. Rangkaian
gambar-gambar dibuat sesederhana mungkin, di mana figure digambar blabar
hitam atau bayangan hitam bersatu dengan latar belakang blabar dasar
hitam atau dibuat sebaliknya. McCay membuat rumusan film dengan
perhitungan waktu, 16 kali gambar dalam tiap detik gerakan.
Fleischer
dan Sullivan telah memanfaatkan teknik animasi sell, yaitu lembaran
tembus pandang dari bahan seluloid (celluloid) yang disebut “cell”.
Pemula lainnya di Jerman, Lotte Reineger, di tahun 1919 mengembangkan
film animasi bayangan, dan Bertosch dari Perancis, di tahun 1930 membuat
percobaan film animasi potongan dengan figure yang berasal dari
potongan-potongan kayu. Gambar berikut adalah tokoh “Gertie The
Dinosaurs”, dan “Felix the Cat”
George Pal memulai menggunakan boneka
sebagai figure dalam film animasi pendeknya, pada tahun 1934 di
Belanda. Dan Alexsander Ptushko dari Rusia membuat film animasi boneka
panjang “The New Gulliver” di tahun 1935.
Di tahun 1935 Len Lye dari
Canada, memulai menggambar langsung pada film setelah memasuki
pembaharuan dalam film berwarna melalui film”Colour of Box”.
Perkembangan Teknik film animasi yang terpenting, yaitu di sekitar tahun
1930-an. Dimana muncul film animasi bersuara yang dirintis oleh Walt
Disney dari Amerika Serikat, melalui film”Mickey Mouse”, “Donald Duck”
dan ” Silly Symphony” yang dibuat selama tahun 1928 sampai 1940.
Pada
tahun 1931 Disney membuat film animasi warna pertama dalam filmnya
“Flower and Trees”. Dan film animasi kartun panjang pertama dibuat
Disney pada tahun 1938, yaitu film “Snow White and Seven Dwarfs”.
Demikian
asal mula perkembangan teknik film animasi yang terus berkembang dengan
gaya dan ciri khas masing-masing pembuat di berbagai Negara di eropa,
di Amerika dan merembet sampai negara¬negara di Asia. Terutama di
Jepang, film kartun berkembang cukup pesat di sana, hingga pada dekade
tahun ini menguasai pasaran film animasi kartun di sini dengan ciri dan
gayanya yang khas.
Sikap Asas Film AnimasiFilm animasi berasal dari
dua disiplin, yaitu film yang berakar pada dunia fotografi dan animasi
yang berakar pada dunia gambar. Kata film berasal dari bahasa inggris
yang telah di Indonesiakan, maknanya dapat kita lihat pada kamus umum
Bahasa Indonesia:
“1 barang tipis seperti selaput yang dibuat dari
seluloid empat gambar potret negative (yang akan dibuat potret atau
dimainkan dalam bioskop); 2 lakon (cerita) gambar hidup;”
(Poerwadarminfa 1984)
Secara mendasar pengertian film yang menyeluruh
sulit dijelaskan. Baru dapat diartikan kalau dilihat dari konteksnya;
misalnya dipakai untuk potret negatif atau plat cetak, film mengandung
pengertian suatu lembaran pita seluloid yang diproses secara kimia
sebelum dapat dilihat hasilnya; atau yang berhubungan dengan cerita atau
lakon, film mengandung pengertian sebagai gambar hidup atau rangkaian
gambar-gambar yang bergerak menjadi suatu alur cerita yang ditonton
orang, bentuk film yang mengandung unsur dasar cahaya, suara dan waktu.
Sedangkan pengertian animasi secara khusus dapat kita simak pada ensiklopedi “Americana”:
“Animated,
a motion picture consisting of series of invidual hand-drawn sketches,
in which the positions or gestures of the figures are varied slightly
from one sketch to another. Generally, the series is film and, when
projected on screen, suggest that figures are moving” (Encyclopedia
Americana vol. V1,1976).
Teknik film animasi, sperti halnya film
hidup, dimungkinkan adanya perhitungan keceaptan film yang berjalan
berurutan antara 18 sampai 24 gambar tiap detiknya.
Gambar yang
diproyeksikan ke layar sebetulnya tidak bergerak, yang terlihat adalah
gerakan semu, terjadi pada indra kita akibat perubahan kecil dari satu
gambar ke gambar yang lain, adanaya suatu fenomena yang terjadi pada
waktu kita melihat, disebut Persistence of Vision, sehingga menghasilkan
suatu ilusi gerak dari pandangan kita.
Berbeda dengan film hidup,
gambar diambil dari pemotretan obyek yang bergerak, lalu dianalisis satu
persatu menjadi beberapa gambar diam pada tiap bingkai pita seluloid.
Sedangkan
film animasi, gerak gambar diciptakan dengan menganalisis gambar per
gambar atau kerangka demi kerangka oleh animator, lalu direkam gambar
demi gambar atau gerak demi gerak dengan menggunakan kamera stop-frame,
kamera yang memakai alat mesin penggerak frame by frame, yaitu alat
penggerak pita seluloid bingkai per bingkai, dengan perhitungan waktu
untuk tiap satu detik dibutuhkan 24 bukaan bingkai kamera untuk merekam
gambar, gerak ke pita seluloid.
Beberapa Jenis Teknik Film Animasi
Berdasarkan
materi atau bahan dasar obyek animasi yang dipakai, secara umum jenis
teknik film animasi digolongkan dua bagian besar, film animasi dwi-matra
(flat animation) dan film animasi tri¬matra(object animation).
Penggunaan Film Animasi
Penggunaan
film animasi sebagai suatu bentuk pantara rupa rungu (audio visual
medium), cukup berperan penting dalam menyebarkan pesan atau gagasan
yang ingin disampaikan ke masyarakat luas. Film animasi dipakai pada:
1.
Televisi komersial; Film animasi digunakan dengan tujuan komersial,
seperti film Wan pada televise, sebagai sisipan di antara acara-acara
program televise, berupa pesan-pesan pendek kepada pirsawan dan sebagai
film hiburan.
2. Bioskop; Film animasi bisa sebagai film cerita panjang, film cerita pendek, dan film sisipan untuk Man pada bioskop.
3. Pelayanan Pemerintah; Film animasi digunakan sebagai film propaganda, film penerangan dan pendidikan.
4.
Perusahaan; film animasi digunakan sebagai film hubungan masyarakat
(public relations) seperti: film penerangan, film pendidikan dan film
propaganda atau film Man pengenalan produk.
Jenis-jenis
AnimasiAnimasi yang dulunya mempunyai prinsip yang sederhana, sekarang
telah berkembang menjadi beberapa jenis, yaitu:
Animasi 2D, Animasi 3D, Animasi tanah Hat (Clay Animation), Animasi Jepang (Anime).
Software Pembuat Animasi
Di
pasaran sekarang ini sudah banyak beredar softwarwe pembuat animasi,
baik itu 2D atau 3D. Untuk lebih jelasnya perhatikan daftar dibawah ini
yang disusun berdasarkan kriterianya.
Software Animasi 2 Dimensi:
Macromedia Flash, CoRETAS, Corel R.A.V.E., After Effects, Moho, CreaToon, ToonBoom, Autodesk Animaton (1990-an) dll
Software Animasi 3 Dimensi:
Maya,
3D Studio Max, Maxon Cinema 4 D, LightWave, Softlmage, Poser, Motion
Builder, Hash Animation Master, Wings 3D, Carrara, Infini-D, Canoma dll
Perkembangan
Animasi Di IndonesiaBagaimana dengan perkembangan Animasi di Indonesia
sendiri? Pada tahun 1980-an, ada film animasi produk Indonesia yang jadi
serial Televisi yaitu si Huma yang menjadi favorit anak-anak pada masa
itu. Tahun 2004, merupakan sejarah bagi per-Animasian Indonesia dengan
dibuatnya film cerita panjang animasi 3D pertama oleh Studio KasatMata
Jogja bekerja sama dengan Kelompok Visi Anak Bangsa Pimp. Garin Nugroho,
membuat film animasi 3D “Homeland” dengan sutradara Gangsar Waskito.
Berharap Kebangkitan Film Animasi Indonesia
Film
animasi. Untuk urusan satu ini rasanya kita akan selalu menoleh ke
Hollywood. Terutama bila kita bicara film layar lebarnya. Karena di
sanalah film-film animasi menjelma jadi ikon baru produk box office. Sekedar memberi contoh, tatap saja film Ice Age, Shrek, Surf’s Up, Ratatouille, Persepolis atau Kungfu Panda.
Dan senangnya, kegairahan yang sama pun terjadi di ranah film animasi
lokal. Bila saya perhatikan, hingga awal tahun ini pertumbuhan film
animasi lokal telah menampakkan wajah sumringahnya.
Tapi
mengerek kegairahan film animasi lokal bukanlah perkara sepele,
siapapun tahu. Bisa jadi faktor yang melatarbelakangi kurangnya produksi
film animasi kita adalah sisi bandrol produksi yang nyatanya tidak
bersaing dengan menggarap film non-animasi. Ditambah minimnya teknologi
dan SDM, sempurnalah hambatan-hambatan itu.
Padahal
film animasi di Indonesia sebagai suatu industri yang berbasis seni
sudah lama ada. Misalnya, tercatat di kalender 1955 film Si Doel Memilih karya
Dukut Hendronoto telah menancapkan tonggak dimulainya sejarah animasi
modern. Dilanjutkan oleh stasiun TVRI yang menampilkan program-program
animasi di beberapa segmennya.
Hingga tahun 1970-an, film animasi semakin bermunculan, ditandai oleh film Si Huma yang cukup fenomenal. Bahkan, pada tahun 2000-an, film animasi layar lebar Homeland dan Janus Prajurit Terakhirsempat memberi kita harapan akan masa depan industri film yang bercikal bakal dari artwork komik ini.
Namun
yang terlewatkan, industri film animasi Indonesia dari dulu senantiasa
meletakkan film animasi sebagai konsumsi anak-anak (atau paling tidak
remaja). Jarang sekali kita melihat film animasi Indonesia yang
diperuntukkan bagi orang dewasa. Padahal kalau kita cermati, di awal
perkembangannya, film animasi justru menyasar ke penonton dewasa.
Le dessin animé s’est d’abord adressé à un public d’adultes. Retenons Betty Boop, sex-symbol du dessin animé des années 30; Fritz the Cat, dessin
animé paillard et subversif des années 60; l‘Å“uvre de Tex Avery,
ironique et anticonformiste, et les tentatives expérimentales de Norman
McLaren.” (Vanoye, 2002: 62)
Petikan
di atas artinya kurang-lebih demikian, “Mula-mula film animasi
ditujukan untuk publik dewasa. Kita ingat Betty Boop, simbol seks
animasi di tahun 1930-an; Fritz the Cat, animasi yang mesum dan
subversif pada tahun 1960-an; karya Tex Avery, ironis dan antikonformis,
serta eksperimen-eksperimennya Norman McLaren.”
Meskipun
akhir-akhir ini produsen-produsen film animasi besar di dunia sering
membuat film animasi yang tidak ditujukan untuk kelompok penonton
anak-anak, anggapan bahwa film animasi adalah untuk kaum anak-anak masih
menjadi wacana dominan di masyarakat kita. Film animasi, lebih-lebih di
Indonesia, selalu diasosiasikan dengan genre anak. Tapi, tunggu dulu!
Ada sedikit yang perlu diluruskan di sini.
Animations
are not a strictly-defined genre category, but rather a film technique,
although they often contain genre-like elements.” (Dirks, www.filmsite.org/animatedfilms.html)
Begitulah,
animasi sebenarnya hanya merupakan teknik penyajian (bukan genre!).
Dengan begitu maka kategori-kategori yang ada merupakan hasil dari
segmentasi khalayak. Di Indonesia ada tiga kategori menurut versi
Lembaga Sensor Film (karena stasiun-stasiun TV ternyata memiliki versi
sendiri), yaitu: semua umur, remaja dan dewasa. Pemeringkatan di Amerika
Serikat lebih rumit, yaitu: G (general), PG(parental guidance), PG-13 (parental guidance dan usia penonton minimal 13 tahun), R (restricted), serta NC-17 (no one 17 and under admitted).
Namun
syukurlah, karisma perfilman animasi Indonesia makin lama makin
menguat. Ini saya simpulkan dari munculnya berbagai komunitas penggiat
animasi. Sebut saja Anima (Asosiasi Animator Indonesia), Animator Forum,
Ainaki (Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia), beserta
komunitas-komunitas lain yang terbit untuk menampung aspirasi para
animator.
Gejolak
kebangkitan ini pun dikatrol oleh banyaknya festival film animasi yang
digelar dalam beberapa tahun terakhir. Mulai dari Festival Film Animasi
Indonesia, Festival Animasi Nasional, Festival Animasi Indonesia,
Hello;Fest, dsb. Perhelatan-perhelatan tersebut kini tidak hanya
didukung oleh pencinta animasi, melainkan juga oleh beberapa perusahaan
hingga departemen dan kementerian di Indonesia.
Di
antara berbagai festival itu, Festival Film Animasi Indonesia
URBanimation sepertinya menjadi barometernya. Ajang dua tahunan yang
terselenggara sebagai program kerja Komite Film Dewan Kesenian Jakarta
ini telah menjadi agenda ASIFA (Association International du Film
d’Animation) sejak tahun 2001. Tak heran jika perhelatan ini kemudian
selalu dihadiri, didukung serta diramaikan oleh komunitas animasi dalam
dan luar negeri.
URBanimation
terbaru (edisi keempat) digelar 14-20 Januari kemarin di kawasan
kompleks Taman Ismail Marzuki. Berbagai fringe events turut memeriahkan
ajang bertema “Animation for Everybody” ini. Banyak komunitas animasi,
studio film animasi, komunitas film independen, maupun para individu
pembuat film animasi turun gunung untuk memarakkannya.
Panitia
URBanimation 2008 sampai menerima 102 karya film dari berbagai kota
besar di Indonesia, seperti Surabaya, Sidoarjo, Malang, Yogyakarta,
Bandung, Jakarta, Jambi, Palembang, bahkan dari peserta yang berdomisili
di Singapura! Seluruh karya peserta tersebut kemudian disaring menjadi
30 film terbaik yang akan masuk penjurian final oleh Dwi Koen (praktisi
animator senior), Candra Endroputro (sutradara film Janus: Prajurit
Terakhir), dan Michael Gumelar (dosen DKV Universitas Multimedia
Nusantara).
Melihat
kian beragamnya latar budaya dari peserta, dewan juri festival pun
mulai menerapkan sistem yang baik dalam mengelola para kreator film
animasi, baik yang amatir maupun profesional. Panitia URBanimation 2008
memilah kategori kompetisi menjadi tiga, yaitu: Kategori Animasi Naratif
dan Non Naratif, Kategori Animasi Terapan, dan Kategori Animasi Pelajar
dan Mahasiswa.
Untuk
mengukur keberhasilan pencapaian segi-segi teknik film animasi dengan
hasil terbaik yang terangkum menjadi satu sistem industri animasi, dewan
juri tersebut membagi kriteria penilaian menjadi empat: Teknis dan
Prinsip Animasi, Inovasi, Storytelling dan Konsep, Desain Karakter, dan
Sound dan Editing.
Selain
festival film, juga terdapat Pameran Animasi yang menggambarkan
perjalanan panjang karya animasi Indonesia, pemutaran film animasi dari
dalam dan luar negeri, seminar diskusi, dan workshop yang juga
menghadirkan pembicara dari dalam dan luar negeri.
Rasanya
minat para kreator film animasi di tanah air memang bakal terus
berkembang. Bukan tidak mungkin dalam puluhan tahun (bahkan belasan
tahun) kita bisa meraih kesejajaran dengan karya-karya kreator film
animasi dunia. “Saudaranya” (film nasional Indonesia non-animasi) saja
sudah menunjukkan produktivitas yang memuaskan pada tahun 2007 kemarin.
Masa’ film animasi Indonesia masih malu-malu juga untuk tampil di depan
publik?